Rindu
berbalas lara
Hari ini sinar matahari terasa begitu terik, aku
baru saja menyelesaikan pekerjaan ku di sawah milik seorang juragan di
kampungku. Aku sedang beristirahat bersama dengan petani-petani lainnya, sampai
tiba – tiba aku teringat sesuatu, bergegas aku mengambil rantang yang berisi
makan siang ku.
“
Saya permisi dulu ya akang – akang” ucapku
“Hoyong
pacaran ya kamu ? “ ledek kang Sarni
“
He’eh atuh kang, Marni teh mau ketemu pacarnya atuh” ucap kang Sarmin, yang makin
meledekku.
Aku
hanya tersenyum malu, saat mereka tau bahwa aku terburu – buru karena ingin
bertemu dengan kekasihku.
“
Ya udah atuh kang, Saya permisi dulu” Ucapku sambil mengulas senyum.
“
Iya Marni, hati – hati ya kamu di jalan.”
Ucap kang Sarmin
“
Iya kang Saya permisi” ucapku sambil berlalu, yang dijawab “ yaa” serempak oleh
mereka.
Aku
berjalan dibawah terik sinar Matahari yang terasa berbeda dari hari – hari
biasanya, entah mengapa siang ini terasa panas sekali. Tapi itu tak menyurutkan
semangat ku untuk bertemu pujaan hati ku. Mengingatnya membuatku secara tidak
sadar menyunggingkan senyum. Ah, aku rindu kekasihku padahal kami baru bertemu
3 hari yang lalu. Aku berjalan sambil terus tersenyum, tak terasa aku sudah
sampai di pinggir sungai tempat biasa kami bertemu, aku bergegas menghampirinya
di gubuk tempat kami biasa menghabiskan makan siang yang ku bawa dari rumah.
Aku melihatnya sedang melamun, entah apa yang ada di lamunanya.
“
Akang maaf ya Marni lama” ucapku menyentak lamunannya
“
Eh kamu sudah datang Marni, gak apa – apa akang juga baru sebentar kok disini”
ucap kang Rahman pujaan hatiku
“
Hehe yaudah atuh kang, hayu kita langsung makan aja, akang pasti lapar kan.”
Ucapku pada kang Rahman
“
iya Marni akang teh lapar pisan hehe” ucap kang Rahman
“Yaudah
atuh kang biar Marni siapin dulu ya makanan nya” ucapku sambil menyiapkan
makanan dari rantang yang ku bawa.
Kami
makan dengan nikmat dan penuh dengan canda tawa, salah satu alasan mengapa aku
begitu menyukainya, karena ia penuh dengan lelucon yang seakan tak ada
habisnya.
“
Marni kamu tau gak kenapa kambing teh bau?”
“
Kenapa ya kang? Karena gapernah mandi?” ucapku sambil memikirkan jawabannya
“
Yeh salah atuh, kambing bau karena keteknya empat. HAHAHA” ucap kang Rahman
sambil tertawa terbahak-bahak
“eh?
Hahaha kok akang kepikiran sih hahaha” ucap ku yang tertawa sambil sedikit
bingung
Aku
menghapus air mata ku yang sedikit keluar akibat tertawa tadi, lalu tiba – tiba suasana berubah hening lalu kang
Rahman bicara
“Marni
Akang ditawarkan pekerjaan di Jakarta, pekerjaannya kuli proyek tol yang akan
dibangun itu, bayaranya lumayan besar jadi akang tertarik mengambil pekerjaan
itu.” ucap kang Rahman
“Akang
teh serius kang?” Ucapku sedih dan masih sedikit bingung ini
“iya
Marni, akang sudah pikirkan ini, akang akan ke Jakarta, bekerja disana lalu
mengumpulkan uang dan kembali lagi kesini.” Ucap kang Rahman dengan raut muka
sangat serius.
Aku
diam tak tahu lagi harus berbicara apa, disatu sisi aku tidak ingin Kang Rahman
pergi karena mengkhawatirkan keadaanya, tapi dilain sisi aku juga harus
mendukung keputusan kang Rahman apalagi ini untuk masa depan yang lebih baik.
“Yasudah
kalau memang itu keputusan akang, Marni hanya bisa mendoakan akang” ucapku yang
sebenarnya sedang menahan tangis
Kang
Rahman hanya tersenyum tipis mendengar ucapakan ku. Lalu suasana hening, kami
diam tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Aku masih sibuk dengan pikiran
ku jika kang Rahman pergi, begitu pula
dengan Kang Rahman, ia juga sedang melamun entah apa yang dipikirkannya. Sampai
akhirnya ia pamit untuk pulang dan akhirnya kami berpisah dan pulang ke rumah masing
– masing. Di jalan pulang aku masih memikirkan Kang Rahman, bagaimana jika ia
pergi, akan bagaimana keadaannya aku takut jika Kang Rahman tak dapat kembali,
tapi segera aku tepis pikiran ku itu, aku harus percaya bahwa Kang Rahman dapat
menjaga dirinya, dan menjaga kepercayaan ku.
Sampai
dirumah aku masih termenung memikirkan Kang Rahman dan memikirkan juga nasib ku
juga keluarga serta orang – orang di kampungku, aku terus memikirkan hal itu
sampai – sampai aku tak dapat tidur. Entahlah rasanya mata ku pun tak ingin
dipejamkan. Sampai akhirnya aku jatuh terlelap hingga waktu shubuh. Adzan subuh
membangunkan ku, aku bergegas untuk mengambil air wudhu lalu melaksanakan
kewajibanku sebagai seorang muslim. Lalu membantu ibuku mengerjakan pekerjaan
rumah hingga matahari terbit, lalu aku seperti biasa pergi bekerja di ladang.
Pekerjaan
ku sudah selesai separuhnya, dan kulihat Bapak ku sedang mengobrol dengan Pak
Andi pemilik ladang ini. Aku tetap melanjutkan pekerjaanku, Bapak menghampiri
ku lalu mengajak ku untuk beristirahat.
Aku
sedang beristirahat sambil menyantap camilan yang ibu ku siapkan dari rumah
“
Marni, kamu lihat kan tadi Bapak ngobrol dengan Pak Andi. Pak Andi menayakan
kapan bapak akan membayar hutang, ia meminta dibayarkan segeta tapi hingga kini
Bapak belum dapat membayar hutang itu.” Ucap Bapak seraya menundukkan kepalanya
“
Lalu bagaimana pak?” Ucap ku
Bapak
menarik nafas panjang sebelum bicara
“
Pak Andi tadi menawarkan pilihan, Bapak tidak perlu melunasi hutangnya tapi
kamu harus mau Bapak nikahkan dengan Pak Andi. Dan Bapak mohon kamu bersedia,
karena kamu tahu sendiri Marni kondisi keuangan kita sekarang bagaimana,
semakin lama hutang itu tidak dibayar semakin besar juga bunganya nanti” ucap
Bapak dengan nada bergetar seperti menahan tangis
Aku
diam tak percaya dengan apa yang baru saja Bapak ucapkan, aku sama sekali tidak
mau dinikahkan oleh Pak Andi si lintah darat itu, tapi jika tidak dibayar akan
bagaimana nasib keluarga ku nantinya. Terlebih aku tidak mungkin meninggalkan
Kang Rahman, aku tidak akan sanggup untuk itu semua. Tapi aku lebih tidak
sanggup melihat keluarga ku menderita. Apapun akan aku lakukan agar keluarga
bahagia, walaupun dengan cara mengorbankan masa depanku.
“Iya
pak Marni bersedia” ucap ku dengan bibir bergetar menahan tangis
“Alhamdulilah
Marni kamu bersedia, terimakasih ya nak kamu mau membantu bapak, ibu” ucap
Bapak sumringah
Aku
hanya dapat terseyum kecut melihat ekspresi Bapak begitu sumringah. Dan
memikirkan entah bagaimana nasib ku kedepannya. Dan kami saling terdiam, lalu
Bapak beranjak kembali ke rumah. Dan aku berangkat pergi untuk bertemu dan
makan siang bersama Kang Rahman di
pinggir sungai.
Sesampainya
aku di pingir sungai, aku sudah melihat Kang Rahman duduk di gubuk tempat biasa
kami makan, lalu kuhampiri Kang Rahman .
“
Akang maaf ya Marni lama” ucapku
“Iya
Marni gapapa akang juga baru duduk disini. Yaudah hayu atuh kita makan akang
sudah lapar hehe” ucap Kang Rahman sambil tersenyum lebar
“hehe
iyaudah hayu atuh kang, Marni siapin dulu ya” ucapku pada Kang Rahman
Makanan
sudah siap terhidangkan, kami makan dengan penuh canda tawa karena guyonan yang
kerap kali dilontarkan Kang Rahman. Suasana begitu riang hingga tiba – tiba aku
terpikirkan rencana bapak yang akan menikahkan ku.
“Kang
Rahman, Marni teh mau bicara serius” ucap ku seraya menunduk
“iya
Marni ada apa bicara aja atuh”
“Bapak
tidak dapat melunasi hutangnya tepat waktu, Pak Andi memberikan pilhan jika
bapak tidak dapat melunasi hutangnya, bapak harus menikahkan Marni dengan dia”
ucapku menunduk seraya menahan tangis
Suansana
hening Kang Rahman tidak memberikan tanggapan, aku tengadahkan kepalaku,
kulihat Kang Rahman seperti menahan amarah.
“Kurang
ajar lintah darat itu, berani – beraninya dia mengajukan pilhan seperti itu,
dan akang tahu Marni pasti bapak mu memilih menikahkan kamu dengan dia kan?”
ucap Kang Rahman seperti menahan tangis dan marah sekaligus
“Iya
kang bapak memilih untuk menikahkan Marni dengan Pak Andi” ucapku sendu
“Yasudah
Marni, akang tak dapat berbuat banyak, akang tidak mungkin melawan bapakmu,
tapi akang akan bekerja keras agar kamu tidak perlu dinikahkan oleh orang itu”
ucap Kang Rahman seperti ber api – api, lalu Kang Rahman melanjutkan
“Iya
kang dan Marni akan selalu doakan akang agar selamat dan dapat rejeki yang
banyak yah dan bias cepat kembali kesini yah” ucapku seraya tersenyum agar
suasana baik kembali.
Suasana
perlahan-lahan kembali seperti semula kami larut oleh guyonan yang dilontarkan
Kang Rahman, walaupun pembicaraan ini dibiarkan seperti mengambang begitu saja.
Aku harap Kang Rahman akan menepati perkataanya. Kami masih bercanda ria sampai
kami memutuskan untuk pulang karena hari makin siang dan kami masih memiliki
pekerjaan yang harus diselesaikan.
Aku
pulang kerumah untuk membantu pekerjaan ibuku di rumah hingga tak terasa hari
pun sudah semakin gelap dan aku memutuskan untuk mandi. Setelah mandi aku
merasa sangat lelah dan aku putuskan untuk merebahkan badan hingga tak sadar
aku jatuh terlelap.
TOK
TOK
Aku
langsung terbangun mendengar ketokan itu, sepertinya ketokan tersebut berasal
dari jendelaku. Kulihat jam menunjukan pukul 23.00
TOK
TOK
Aku
bertanya-tanya siapa yang mengetok jendela ku saat larut malam seperti ini,
dengan takut aku membuka jendela
“Hey
Marni”
“Ternyata
yang mengetuk jendela kamar ku dari tadi teh akang ya” ucapku pada Kang Rahman
“
Hehe iya, maaf ya Marni buat kamu jadi terganggu” ucap kang Rahman sembari
menggaruk tengkuknya yang tak gatal
“Iya
kang gapapa, akang ada apa larut malam begini datang kesini?” tanyaku pada kang
Rahman
“Ini
Marni akang teh mau pamitan sama kamu, akang mau berangkat besok pagi ke
Jakarta”
“Lohkok
mendadak sekali seperti ini kang?” ucapku
“Iya
Marni akang juga dikasih tau nya mendadak sekali tadi. Yasudah Marni akang
pamit ya jaga diri baik-baik. Tunggu akang balik dan bawa banyak uang yaa” ucap
kang Rahman sembari tersenyum lebar
Aku
hanya diam tak berkomentar apapun sambil menangisi Kang Rahman yang akan
berangkat ke Jakarta, tapi aku tetap harus tersenyum, aku tidak boleh menjadi
penghalang Kang Rahman untuk pergi ke Jakarta. Aku masih diam sambil terus
menangis hingga Kang Rahman pamit untuk pulang. Aku kembali rebahan di ranjang
ku sambil terus berdoa agar Kang Rahman selalu selamat.
Hari
ini tepat 3 minggu yang lalu Kang Rahman mengetok jendela kamarku untuk
berpamitan, hingga kini pula aku belum mendapatkan kabar tentang keadaan Kang
Rahman. Setiap hari adalah penyiksaan bagiku, karena terus memikirkan keadaan
Kang Rahman yang entah bagaimana dan juga bapak ku yang semakin yakin dan
semangat dengan rencananya.
Aku
sedang berjalan sepulang dari pasar, kulihat orang sedang beramai – ramai
menonton televisi, lalu aku mendekat ke kerumunan karena penasaran. Kulihat
tayangan berita yang menyampaikan bahwa ada kerusuhan di Jakarta, Mahasiswa
demo meminta presiden untuk mengundurkan diri dari jabatannya, penjarahan
terjadi dimana – mana. Saat ku melihat tayanga berita tersebut pikiranku hanya
tertuju pada satu orang Kang Rahman. Perasaan campur aduk saat itu, kaki ku
lemas seperti tak mampu menopang tubuhku. Pikiranku hanya tertuju pada Kang Rahman
aku tak tahu bagaimana kabarnya sekarang, seluruh Jakarta porak poranda
membuatku semakin khawatir dengan keadaan Kang Rahman, terlebih aku tidak tahu
harus menghubungi siapa untuk mengetahui keberadaan Kang Rahman. Aku hanya
terus berdoa agar Kang Rahman selalu diberikan keselamatan, dan aku terus
berharap Kang Rahman pasti akan kembali.
1
bulan telah berlalu dari aku melihat tayangan di televisi tentang kerusuhan dan
aku masih belum mendapatkan kabar dari Kang Rahman tapi aku tak menyerah aku
masih terus berdoa, menyakan keberadaannya kepada teman – temannya dan masih
terus berharap Kang Rahman akan kembali. Dan semakin matang pula persiapan
pernikahan ku dengan Pak Andi. Ya, aku tak dapat menolak keinginan bapak ku
untuk menikahkan ku dengan Pak Andi.
Mungkin
hari ini adalah hari yang paling bahagia bagi semua pengantin, sudah seminggu
berlalu dan ini adalah hari pernikanku dengan Pak Andi, semua tamu undangan
melihatku sebagai pengatin wanita yang paling behagia. Tapi kenyataannya tidak
sama sekali, aku tidak pernah bahagia bersanding dengan lintah darat ini, kalau
bukan untuk menyelamatkan dan
membahagiakan keluarga ku aku tidak mungkin mau dengan Pak Andi. Aku
masih mengharapkan kedatangan Kang Rahman disini, lalu kita akan pergi bersama
dan bahagia sampai akhir hayat. Mataku selalu melihat tamu undangan, mungkin
Kang Rahman ada diantaranya. Tapi angan hanyalah angan, sampai penghujung acara
tak kulihat Kang Rahman datang. Mungkin kisah cintaku hanya sampai disini saja,
entah bagaimanapun keadaan Kang Rahman aku akan selalu mendoakannya dan
berharap Kang Rahman akan menjemputku suatu saat nanti.
“ Rinduku berbalas lara
”
“ Sang pujaan hati tak
juga datang ”
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar