Cahaya Yang Hilang
Kicauan burung dipagi itu membangunkanku dari buaian
mimpi. Mentari pun terbit dengan senyum sejuta arti, seakan menyapa bumi dengan
cahaya hangat yang tak henti. Begitupun denganku yang bangkit dari tempat
tidurku, sembari memegang hp yang kubeli empat tahun lalu, untuk mengirimkan
pesan hangat selamat pagi untuk seorang lelaki
yang kucintai. Ya, dia adalah kakak kelasku disekolah, namanya Ardinan,
Ardinan Febian Maulana anak kelas 12 IPS disalah satu sekolah SMA favorit di
Ibu kota Jakarta dimana tempatku bersekolah juga.
Dan perkenalkan, namaku Raini Meliana Gabriela
perempuan periang dari kelas 11 IPA. Watakku yang periang seakan mewarnai
hari-hariku dan teman-temanku di kelas. Mungkin kalo aku gak masuk sekolah,
teman-teman kelas bakal kesepian haha… Ohiya Kisah pertemuanku
dengan Ardinan berawal pada satu tahun lalu, saat aku mengikuti kegiatan MOS di
SMA. Disela istirahat MOS dihari kedua, saat aku berada dilapangan sekolah,
segerombolan cowok menghampiriku. Seperti kakak kelas ganjen dan cari – cari
perhatian pada umumnya, mereka datang dengan gerombolan teman-teman kelasnya.
Dengan santainya ada satu cowok mendekatiku sembari mengeluarkan gadgetnya
sambil berkata “Hey
anak baru, boleh minta kontaknya ?” dengan gaya sok tampan. Padahal memang tampan sih hehe.. “Hmm.. buat apa kak?”
tanyaku sambil menatap mata nya. “Mau kenalan aja de, bolehkan ?” tanyanya
dengan balik menatapku. Karena aku gugup dipandangi dia, aku
gak mau terlalu lama dia ada didepanku. Akhirnya tanpa pikir panjang aku kasih
kontak aku ke dia. Toh dia juga kakak kelasku, dan aku adik kelasnya. Siapa tau
aku bisa tanya-tanya ke dia kan, tentang seluk-beluk sekolah ini, pikirku.
“nih kak.” Kuberikan kepadanya secarik kertas
berisikan kontakku, dengan ekspresiku yang gemetar karena grogi. “Okeey..
makasih de, nanti malam kakak chat kamu yaa..” dengan ekspresi wajah memerah
karena berhasil mendapatkan kontakku.
Setelah malam tiba, jujur aku degdegan sekali.
Karena akan ada seseorang yang bakal mengirim pesan kepadaku malam ini. Padahal
cuma kakak kelas yang bakal mengirim pesan padaku, bukan menteri, pejabat, atau
kepala sekolah. Jadi gak terlalu penting juga kan, tapi anehnya aku terus
kepikiran sambil menunggu-nunggu. Dan benar saja, ada satu pesan yang masuk ke
salah satu social media milikku. “Hay
de.. ini kakak yang tadi minta kontakmu dilapangan.” Dengan emoticon senyum di
akhir text yang dikirimnya. “Ohh
iyaa kak.” Jawabku singkat tanpa ada ekspresi apapun melalui emoticon. Karena
menurutku tak terlalu penting juga aku membalas pesannya dengan terlalu
panjang. “Kenalin
nama kakak Ardinan Febian dari kelas 12 IPS.”
Jawabnya dengan balasan yang terhitung cepat. “Aku Raini
Meliana dari kelas 10 IPA kak” Jawabku dengan perasaan yang kini sudah mulai
tenang dan santai tanpa ada rasa degdegan lagi hehe..
Obrolan singkatpun terjadi diantara kami, sampai tak
terasa kami sudah satu jam chatting di sosmed. Padahal dihari esok aku masih
harus mengikuti kegiatan MOS, dan masih banyak perlengkapan yang masih belum
aku siapkan. Aku segera menyudahi obrolan dengan kak Ardinan dimalam itu.
(Kesokan harinya)
“Hoooaammm….” Suaraku dipagi hari, sambil ku cek
handphoneku, siapa tau ada pesan masuk dari kak Dinan hehe.. Namun ternyata tak
ada pesan yang masuk. Segera ku bangun dan bersiap-siap ke sekolah, untuk
kembali mengikuti kegiatan MOS dihari ketiga. Pagi itu ibu menyiapkanku sarapan
dan bekal makanan untuk disekolah nanti. Aku
berangkat menuju sekolah diantar ayah dengan sepeda motor maticnya. Cuaca
dipagi itu sangat sejuk. Sesekali ku menghirup nafas dalam, untuk merasakan
segarnya udara pagi. Sebuah nikmat tuhan yang patut disyukuri. Sesampainya
disekolah, aku pamit pada ayah, dan langsung menuju gerbang. Digerbang aku
berpapasan dengan teman satu reguku di MOS. Kami berjalan menuju ruang kelas
tempat kami biasa berkumpul. Keseruan demi keseruan kunikmati dihari itu,
mengisi lembaran cerita, untuk diceritakan nanti kepada ibu dirumah. Tak terasa
hari sudah mulai petang, aku bersama teman – teman lain bergegas merapihkan
barang – barang bawaan dan bersiap untuk menyudahi kegiatan, dan pulang
kerumah.
Hari itu aku pulang sendiri
tanpa dijemput ayah, karena ayah pulang agak telat katanya. Aku berjalan disore
itu bersama hembusan angin, bercahayakan mentari yang berjalan tunduk ke ufuk
barat, bernaungkan cakrawala yang mulai keemasan. Langkah demi langkah
kutapaki, menyusuri jalanan kota yang mulai lelah dengan kesibukkan warganya.
Tak terasa langkahku, telah menghadapkanku pada pintu rumah. Ibu meyambut
kedatanganku, sambil bertanya
“Gimana kegiatan mos hari ini kak?” dengan
memberikan senyum tulusnya.
“Seruu buu.. banyak kegiatan
seru yang tadi aku ikuti.” Jawabku sambil melepas sepatu yang kupakai
seharaian.
“Ibu udah siapin makanan dimeja buat kamu. Nanti
kamu makan yaa kak.”
“Waah... makasih yaa bu, habis ini pasti langasung
aku makan.” Jawabku dengan perasaan senang, karena kebetulan aku sangat lapar
disore itu.
Selesai melepas sepatu, aku bergegas menuju kamar
mandi. Selepas mandi dan bersalin pakaian, aku bergegas menuju meja makan untuk
menyantap makanan masakan ibu. Dimeja makan aku kembali mendapat pesan masuk
dari kak Dinan.
“Hay Rain.. kamu lagi apa?”
dengan emot senyum manisnya.
“Baru pulang MOS nih kak.” Jawabku singkat.
“Jangan panggil kak, panggil saja Dinan” “Iyaadeh Dinan” “Besok kita
ke kantin bareng yuk Rain.” Ajaknya.
“Hmm.. okeedeh kak nanti pas aku istirahat yaa.”
Jawabku dengan perasaan senang karena kakak ganteng mengajakku ke kantin esok
hari hihi..
Ntah mengapa, dari hari ke hari, semakin kurasakan
ada rasa yang hadir dan tumbuh dalam hatiku. Rasa nyaman, sayang dan bahagia
yang aku rasakan semenjak aku mengenal dan dekat dengan Dinan. Aku merasakan
perhatian dan rasa sayang yang datang darinya. Padahal kini, baru saja satu
bulan aku mengenalnya, namun ntah mengapa sepertinya aku jatuh hati pada Dinan.
Dibulan – bulan selanjutnya, aku semakin merasakan kedekatan dengan dia.
Sesekali kami pernah melakukan kekonyolan bersama, ya kami mengerjai Pak mamat
Satpam yang berjaga di gerbang sekolah.
Hari itu di Senin pagi, gerbang telah ditutup karena
upacara akan segera dimulai. Aku dan Dinan datang agak telat, karena ban motor
yang kami kendarai bocor dipertengahan jalan. Ketika kami hampir sampai didepan
gerbang sekolah, kami melihat pak mamat berjaga disana.
“Wah Rain, ada pak mamat tuh. Pasti kita gabisa
masuk nih.” Dengan nada sedikit kesal.
“Yaah iyaa nih, gimana dong” sautku dengan perasaan
panik.
“Tenang aku punya ide. Gini aja, disamping kanan
gerbang deket warung pa’de basuki ada tangga, nah nanti kamu naik lewat sana
yaa.. Nanti aku alihin perhatiannya pak mamat ke sebelah kiri gerbang. Begitu
pak mamat kena jebakan aku, kamu langsung naik yaa lewat tangga itu yaa ”
Jelasnya dengan sangat yakin. “Tapi
nanti kamu gimana?” tanyaku padanya.
“Nanti pas kamu sudah ada didalam, kamu kerjain pak
mamat. Bilang saja kalo barusan dibelakang sekolah ada anak yang mau bolos. Pas
pak mamat jalan kebelakang sekolah, baru deh aku masuk lewat tangga yang kamu
pake tadi.” Jelasnya dengan melempar senyum kepadaku.
Karena aku merasa yakin dengan rencana Dinan, aku
pun menurutinya. Dinan menjebak Pak Mamat dengan melempar batu ke sebelah kiri
gerbang, untuk mengalihkan perhatiannya. Pak mamat berjalan mengarah ke sebelah
kiri gerbang, untuk melihat ada suara apa disana, sementara aku menaiki tangga
yang berada disamping kanan gerbang dekat warung pa’de basuki. “Hah..
akhirnya ada didalam sekolah juga. Sekarang giliran aku nih yang ngerjain Pak
Mamat. ” Sembari merapi-rapikan seragamku.
Aku menaru tasku terlebih dulu di
salah satu motor diparkiran. Karena kalo aku menghadap Pak Mamat membawa tas,
aku takut ketaun sama dia, kalo aku datang telat. Aku berjalan menuju gerbang
dengan ekspresi panik untuk meyakinkan Pak Mamamt. “Pak,Pak,Pak.. itu dibelakang sekolah
ada yang mau bolos pak, mereka manjat tembok belakang pak.” Kataku dengan
ekspresi yang meyakinkan agar Pak Mamat percaya.
“Yang bener kamu?” Jawab Pak Mamat dengan
mengerutkan alisnya. Pak mamat langsung
pergi dari tempat berjaganya, menuju belakang sekolah untuk membuktikan
ucapanku tadi. Melihat Pak Mamat sudah tidak ditempatnya, Dinan bergegas
memanjat tangga yang aku gunakan tadi untuk segera masuk kedalam sekolah. Dinan
memanjat dengan cepat, tak membutuhkan waktu lama bagi Dinan untuk menaiki
tangga itu.Aku segera mengambil tasku disalah satu motor diparkiran, dan kami
bergegas menuju kelas masing-masing, dan berjalan biasa menuju lapangan
layaknya siswa yang tak telat. Di upacara pagi itu kami mendengar
amanat upacara dari Pak Sasmito tentang sejarah 10 November di Surabaya.
Kejadian itu berawal dari ultimatum tentara sekutu kepada para rakyat Surabaya.
Keinginan tentara sekutu untuk mengambil alih Surabaya yang telah merdeka,
mendapat perlawanan keras dari para rakyat Surabaya. Dengan semangat yang
membara, rakyat Surabaya berhasil menumbangkan Jenderal Sekutu yang mempin
tentara sekutu.
Mendenger amanat upacara yang disampaikan Pak
Sasmito, aku merasa semangat. Semangatku sebagai pelajar, aku buktikan dengan
belajar bersungguh-sungguh agar menjadi kebanggaan ibu dan ayah nanti. Selesai
mengikuti upacara, tak sengaja aku melihat Dinan di kantin. Namun aku
melihatnya sedang duduk bersama perempuan lain yang tidak aku kenal. Aku
mengamatinya dari kejauhan, tampak mereka sangat dekat. Aku merasa kesal
sekaligus cemburu, ntah mengapa aku harus merasakan demikian, padahal Dinan
bukan kekasihku.
Mungkin karena aku memiliki perasaan yang lebih pada
Dinan. Aku mulai bertanya – tanya, apakah Dinan memiliki perasaan yang sama
denganku ?, Atau sebaliknya. Ntahlah biarkan waktu yang menjawab, karena aku
tak punya hak untuk menentukan itu. Disemester
kedua sekolahku, aku bertemu dengan Ardan. Ardan adalah teman SMP ku dan
ternyata dia satu sekolah denganku. Karena dia teman sekolahku semasa SMP,
sesekali kami pulang bersama. Tak disangka, hari – hari berikutnya kami selalu
pulang bersama, menjalin komunikasi hampir disetiap harinya. Namun aku tak
menaruh rasa sedikit pun pada Ardan, karena aku mengharapkan Dinan. Banyak hal
indah yang telah aku dan Dinan lewati bersama.
Disatu bulan kedekatanku dengan Ardan, bertepatan
tiga bulan kedekatanku dengan Dinan, Ardan
menyatakan perasaannya padaku. Walaupun aku sering pulang bersamanya, namun tak
sedikitpun aku memiliki perasaan padanya, namun aku merasakan bahwa Ardan
sangat menyayangiku, tak jauh berbeda dengan Dinan yang juga menyayangiku.
Dimalam itu, ketika Ardan menyatakan perasaannya,
aku tak bisa menjawabnya langsung. Aku dilema, haruskah aku memilih Ardan,
seseorang yang sangat menyayangiku, atau aku tetap menunggu Dinan saja ?..Hmm
sudah tiga bulan ini kami dekat, namun tak ada terlihat perasaan yang lebih
dari Dinan. Sedangkan Ardan, dan aku, hanya dekat satu bulan saja namun ia
sudah berani menyatakan perasaannya padaku. Pada
7 hari setelah Ardan menyatakan perasaannya itu aku putuskan untuk menerima
Ardan, dan menerimanya sebagai kekasihku. Hari demi hari kami selalu pulang
bersama, dan sesekali kami mengerjakan tugas sekolah bersama. Jika ada waktu
senggang, kami juga menghabiskan waktu bersama dengan bermain – main di pusat
perbelanjaan,taman, maupun café. Perasaanku untuk Ardan pun mulai hadir dan tumbuh, namun tetap saja aku
masih tak bisa melupakan Dinan. Sesekali aku menjalin komunikasi kembali
dengan Dinan, ntah apa yang membuatku
ingin kembali menghubungi Dinan dan ingin dekat kembali dengannya, padahal aku
telah memiliki Ardan.
Perasaanku memang tak bisa dibohongi, setelah
losecontact dengan Dinan semenjak satu tahun aku menjalin kasih dengan Ardan,
aku kembali mencari tahu kabar dan keadaan Dinan. Mungkin jika Ardan tau, dia
akan sangat kecewa denganku. Tapi, dihari itu selepas Ujian Akhir Semester
setelah aku jajan dikantin sekolah, aku mampir ke kelas Dinan.
Aku berusaha mencari Dinan, dan ingin menanyakan
mengapa kita yang dulu sedekat nadi, kini menjadi sejauh bumi dan langit.
Jujur, aku masih mencintai Dinan walaupun aku telah satu tahun bersama Ardan.
Aku menemui salah satu teman sekelas Dinan.
“Kak, mau tanya ka Dinan nya ada dikelas ngga?”
tanyaku dengan sedikit terbata – bata, berharap dia menjawab bahwa Dinan ada
didalam kelas.
“Dinan ? Dinan selesai ujian akhir semester kemarin
sudah pindah ke Bandung.” Jawabnya dengan sedikit mengerutkan alisnya.
“Hah ? pindah ke Bandung ? ko dia gak ngabarin aku
yaa ?” tanyaku penasaran. “Memang
kamu siapanya Dinan yaa?” tanyanya angkuh.
“Ehm bukan siapa - siapa nya ko kak, Cuma teman
biasa.” Jawabku dengan nada lusuh, memang karena aku bukan siapa – siapannya
Dinan. Dinan hanya sebatas kakak
kelas yang dulu pernah dekat denganku, dan kini telah pergi dan menjauh. Memang salahku terlalu berharap,
berharap dia mencintaiku sebagaimana aku mencintainya.
Cahaya yang aku harapkan bisa bersinar bersama,
tidak terjadi. Karena Dinan dan Aku memang tak bisa bersama. Tak mungkin juga
jika menjalin kasih, jika hanya salah satu pihak saja yang mencintai, sedangkan
pihak yang lain tidak mencintai. Aku merasakan bahwa ada Cahaya Yang Hilang
ketika aku dan Dinan sudah berjauhan.
Aku merasakan bahwa kehangatan lampu
didalam rumah telah padam dan menghilang.
Aku mulai tersadarkan, aku harus segera keluar dari pengharapan pada Dinan, yang ibarat rumah aku sedang berada didalamnya. Hanya menikmati kehangatan dari lampu saja, kini aku harus benar – benar membuka pintu rumah itu, dan membiarkan kehangatan mentari masuk kedalamnya, belajar mencintainya, menjaganya, dan amat mensyukurinya. Yaa, dia adalah Ardinan sang mentari dengan cahaya sejuta kehangatan, yang selama satu tahun ini aku biarkan diluar, sehingga aku tak bisa merasakan kehangatannya. Karena aku menutup pintu rumah, hanya demi merasakan kehangatan yang hanya berasal dari sebuah lampu, yang kini telah padam.
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar